Geger! Membongkar Psikologi Antrean dan Etika Kekuasaan: Insiden Dosen Meludahi Kasir yang Mengguncang Ruang Publik

Table of Contents

Ruang publik, terutama area layanan ritel, seharusnya menjadi cerminan kedewasaan sosial dan kepatuhan terhadap etika dasar. Namun, insiden terbaru di sebuah swalayan di Makassar, yang melibatkan seorang dosen berinisial AS dari Universitas Islam Makassar (UIM) dan seorang petugas kasir, telah memicu gelombang kemarahan publik dan mempertanyakan kembali batas-batas profesionalisme serta hak-hak pekerja layanan. Video yang merekam detik-detik peludahan tersebut dengan cepat menjadi viral, mengubah kasus sengketa antrean biasa menjadi diskursus serius mengenai entitlement, kekerasan non-fisik, dan tanggung jawab moral kaum intelektual.

Ketika Barisan Antrean Menguji Moralitas: Viralnya Insiden di Makassar

Peristiwa tragis ini, yang bermula dari hal sepele—yakni memotong antrean—menegaskan betapa rapuhnya ketenangan dalam transaksi publik. Data menunjukkan bahwa Dosen UIM yang kini menjadi sorotan, Amal Said (AS), diduga melakukan tindakan agresif berupa peludahan terhadap petugas kasir setelah teguran yang diberikan terkait pelanggaran urutan antrean. Petugas kasir, yang merupakan garda terdepan layanan, hanya menjalankan tugasnya menegakkan aturan toko, namun harus menghadapi respons yang sangat tidak proporsional dan merendahkan.

Anatomi Insiden: Dari Pelanggaran Kecil Menjadi Kasus Kriminal

Menurut laporan yang diterima kepolisian, insiden bermula saat AS berusaha melompati urutan pembayaran di kasir. Ketika korban, petugas kasir, meminta pelaku untuk kembali ke tempatnya sesuai prosedur, respons yang diterima bukanlah permintaan maaf, melainkan eskalasi kemarahan yang berujung pada tindakan pelecehan non-fisik. Peludahan dalam konteks sosial dan hukum bukanlah sekadar ekspresi emosi, melainkan bentuk penghinaan berat dan kekerasan yang dapat menimbulkan trauma mendalam bagi korban. Kejadian ini bukan hanya masalah etiket di swalayan, melainkan pelanggaran terhadap martabat manusia.

Kamera Publik dan Kekuatan Bukti Digital

Dalam era digital, tidak ada lagi ruang bagi perilaku buruk yang luput dari pengawasan. Kecepatan penyebaran video insiden ini menunjukkan betapa cepatnya masyarakat bereaksi terhadap ketidakadilan. Media sosial kini berfungsi sebagai “pengadilan” publik yang menuntut akuntabilitas segera. Bukti digital ini pula yang menjadi dasar kuat bagi korban untuk menempuh jalur hukum, melaporkan AS ke pihak berwenang atas dugaan perbuatan tidak menyenangkan dan pelecehan.

Mengupas Akar Masalah: Entitlement dan Budaya Antrean di Indonesia

Mengapa antrean—sebuah sistem yang paling adil untuk mengatur alur pelayanan—sering kali menjadi medan pertempuran ego? Psikologi antrean mengungkapkan bahwa pelanggaran antrean sering dipicu oleh rasa entitlement (hak istimewa) atau anggapan bahwa status sosial, pendidikan, atau kekayaan memungkinkan seseorang untuk “memintas” sistem yang berlaku bagi orang lain. Kasus yang melibatkan seorang akademisi seperti AS memperburuk narasi ini, mengingat status dosen seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan hukum.

Hierarki Tak Terucapkan: Dosen vs. Pekerja Ritel

Insiden ini secara tajam menyoroti disparitas kekuasaan yang tak terucapkan antara konsumen berstatus tinggi (seperti akademisi) dan pekerja layanan berupah minimum. Pekerja ritel seringkali berada dalam posisi rentan; mereka diwajibkan untuk tetap profesional dan melayani, bahkan ketika dihadapkan pada perilaku agresif. Tindakan peludahan oleh seorang dosen dapat diinterpretasikan sebagai puncak arogansi yang menganggap pekerja layanan sebagai individu yang “boleh” diperlakukan semena-mena. Ini adalah masalah mendasar mengenai kurangnya penghargaan terhadap profesi layanan.

Dampak Psikologis Kekerasan Non-Fisik

Meskipun peludahan tidak menimbulkan luka fisik, dampaknya terhadap kesehatan mental korban bisa sangat parah. Kekerasan non-fisik seperti pelecehan verbal, intimidasi, dan penghinaan dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan trauma kerja. Lingkungan kerja yang seharusnya aman menjadi tempat yang mengancam, memaksa petugas kasir tersebut mengambil langkah serius melaporkan kasus ini ke ranah hukum demi memulihkan martabatnya dan menjamin keselamatan kerja di masa depan.

Konsekuensi Hukum dan Etika Akademisi

Tindakan yang dilakukan oleh AS tidak hanya berimplikasi sosial, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum dan etika yang serius, terutama karena statusnya sebagai pendidik. Seorang dosen memegang peran sentral dalam mencetak karakter bangsa dan seharusnya menjadi teladan dalam etika publik dan kepatuhan hukum.

Pasal Pidana yang Mengintai Pelaku Pelecehan

Di mata hukum Indonesia, tindakan meludahi seseorang dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa pasal. Salah satunya adalah Pasal 315 KUHP tentang penghinaan ringan, di mana perbuatan yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang di tempat umum dapat dituntut. Selain itu, ada kemungkinan dikenakan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, terutama jika tindakan tersebut menimbulkan rasa takut atau ketidaknyamanan yang signifikan. Jika peludahan dianggap sebagai bagian dari upaya penganiayaan ringan (meskipun non-fisik), proses hukumnya akan berjalan lebih serius. Pelaporan resmi korban ke kepolisian menunjukkan tekad untuk menuntut pertanggungjawaban pidana.

Tanggung Jawab Moral Institusi Pendidikan

Institusi tempat AS bernaung, UIM, kini menghadapi tantangan etika dan reputasi. Dosen adalah representasi kampus. Pelanggaran etika publik oleh anggota staf akademik dapat merusak citra Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kampus memiliki tanggung jawab moral dan kelembagaan untuk menyelidiki dan mengambil tindakan disipliner yang tegas terhadap anggotanya yang terbukti melanggar norma kesusilaan dan hukum. Tindakan ini krusial untuk memastikan bahwa institusi pendidikan tetap menjadi benteng moralitas.

Strategi Pencegahan Konflik di Layanan Publik

Insiden ini harus menjadi momentum refleksi bagi seluruh masyarakat mengenai cara berinteraksi di ruang publik. Pencegahan konflik layanan memerlukan upaya dari kedua belah pihak: konsumen dan penyedia layanan.

Edukasi Konsumen dan Pengendalian Emosi

Pentingnya edukasi mengenai kesadaran kolektif dan penghormatan terhadap aturan sosial perlu ditingkatkan. Bagi konsumen, mengelola emosi dan memahami bahwa petugas layanan adalah manusia yang menjalankan prosedur adalah kunci. Keterlambatan atau ketidaknyamanan kecil tidak pernah menjadi alasan pembenar untuk melakukan kekerasan verbal atau non-fisik. Teknik-teknik pengelolaan stres dan kesabaran harus dipraktikkan, terutama di tempat-tempat yang padat.

Peningkatan Perlindungan dan Pelatihan bagi Pekerja Ritel

Di sisi lain, perusahaan ritel wajib memperkuat perlindungan bagi karyawannya. Hal ini mencakup pelatihan eskalasi konflik, penyediaan dukungan psikologis bagi korban kekerasan, dan jaminan bahwa setiap insiden pelecehan akan ditindaklanjuti secara serius. Jika perusahaan gagal melindungi karyawannya, hal itu akan menurunkan moral kerja dan meningkatkan risiko trauma di tempat kerja.

Penutup: Menegakkan Martabat di Setiap Antrean

Kasus Dosen UIM yang meludahi kasir di Makassar bukan sekadar berita viral sesaat, melainkan sebuah alarm keras bagi etika publik kita. Ini adalah pengingat bahwa martabat dan hak asasi manusia tidak mengenal status sosial atau gelar akademik. Setiap individu, terutama mereka yang bekerja keras di lini depan layanan publik, berhak mendapatkan perlakuan hormat dan lingkungan kerja yang aman. Penyelesaian hukum yang adil dalam kasus ini akan menjadi preseden penting dalam menegaskan kembali bahwa kekerasan—dalam bentuk apa pun—tidak dapat ditoleransi di Indonesia.

Baca Juga

Loading...