Dideportasi dari Israel: Aktivis Global Sumud Flotilla Ungkap Perlakuan Biadab

Istanbul, Turki – Sebanyak 137 aktivis dari Global Sumud Flotilla yang dideportasi dari Israel tiba di Istanbul, Turki, pada Sabtu (4/10/2025). Para aktivis internasional ini, yang berasal dari berbagai negara, berbagi pengalaman pahit mereka tentang penahanan dan perlakuan yang mereka alami selama berada di tangan otoritas Israel. Mereka mengaku menjadi sasaran kekerasan dan menggambarkan perlakuan mereka sebagai sesuatu yang tidak manusiawi, bahkan menyebutnya 'diperlakukan seperti binatang'.
Armada Global Sumud Flotilla, yang berlayar sejak bulan lalu, bertujuan untuk mengangkut bantuan kemanusiaan ke Gaza yang dilanda perang. Kapal-kapal ini mengangkut bantuan penting, termasuk obat-obatan dan makanan, serta membawa para politisi dan aktivis dari berbagai negara. Di antara mereka terdapat tokoh-tokoh terkenal seperti aktivis lingkungan Swedia, Greta Thunberg.
Pencegatan dan Penahanan: Kisah Perjalanan Global Sumud Flotilla
Namun, upaya mereka terhenti ketika kapal-kapal tersebut diblokade oleh Israel. Lebih dari 400 orang ditahan, dengan proses deportasi dimulai pada hari Jumat. Dari jumlah tersebut, 137 aktivis dari 13 negara berbeda, termasuk 36 warga negara Turki, diterbangkan ke Istanbul. Peristiwa ini menandai puncak dari sebuah misi kemanusiaan yang berubah menjadi pengalaman traumatis bagi para pesertanya.
Para aktivis diterbangkan ke Istanbul menggunakan pesawat Turkish Airlines yang disewa khusus. Kedatangan mereka disambut oleh keluarga dan pendukung di ruang VIP Bandara Istanbul, yang mengibarkan bendera Turki dan Palestina sambil meneriakkan slogan-slogan yang mengecam tindakan Israel. Para aktivis Turki akan menjalani pemeriksaan medis setibanya di Turki dan dijadwalkan memberikan kesaksian di pengadilan pada hari Minggu.
Kekerasan dan Perlakuan Tidak Manusiawi: Kesaksian Langsung dari Aktivis
Paolo Romano, seorang politisi Italia, memberikan kesaksian langsung tentang bagaimana Israel mencegat kapal yang membawa bantuan kemanusiaan tersebut. Ia menceritakan bagaimana kapal-kapal terkena meriam air, dan penumpang kemudian dibawa ke pantai oleh pasukan Israel. "Kami dicegat oleh sejumlah besar kapal militer," ujar Romano kepada AFP di Bandara Istanbul.
Romano melanjutkan dengan menggambarkan perlakuan kasar yang mereka terima. "Mereka memaksa kami berlutut, tengkurap. Dan jika kami bergerak, mereka memukul kami. Mereka menertawakan, menghina, dan memukul kami." Kekerasan psikologis dan fisik menjadi bagian dari pengalaman mereka. Militer Israel bahkan mencoba memaksa mereka untuk mengaku memasuki Israel secara ilegal, meskipun mereka berada di perairan internasional.
Baca Juga: Israel Robohkan Pertahanan Qatar: Serangan Rudal Gemparkan Doha, Rafale & F-15QA Tak Berkutik
Kondisi Penahanan yang Buruk: Kekurangan dan Perlakuan Kasar
Setelah tiba di daratan, para penumpang Global Sumud Flotilla dibawa ke penjara dan ditahan tanpa akses ke dunia luar. Romano juga mengeluhkan kurangnya air minum kemasan bagi para tahanan. "Mereka membuka pintu di malam hari dan meneriaki kami dengan senjata untuk menakut-nakuti kami," katanya.
Iylia Balqis, seorang aktivis dari Malaysia yang berusia 28 tahun, menggambarkan pencegatan oleh Israel sebagai "pengalaman terburuk" dalam hidupnya. Ia menuturkan, "Kami diborgol (dengan tangan di belakang punggung), kami tidak bisa berjalan, beberapa dari kami dipaksa berbaring tengkurap di tanah, lalu kami tidak diberi air, dan beberapa dari kami tidak diberi obat."
Jurnalis Italia, Lorenzo D'Agostino, yang berada di atas armada kapal untuk meliput misi tersebut, mengungkapkan bahwa para aktivis diculik di perairan internasional, sekitar 88 kilometer dari Gaza. "Dua hari yang mengerikan yang kami habiskan di penjara. Kami sekarang bebas berkat tekanan dari publik internasional yang mendukung Palestina," kata D'Agostino. Ia menekankan betapa biadabnya perlakuan yang mereka terima dan berharap situasi ini segera berakhir.
Reaksi dan Tanggapan: Kecaman dan Desakan
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Israel melalui platform X (sebelumnya Twitter), menyebut para aktivis sebagai "137 provokator armada Hamas-Sumud" yang dideportasi ke Turki. Pihak Israel juga menegaskan bahwa mereka berusaha untuk mempercepat deportasi semua aktivis yang dianggap provokatif. Pernyataan ini mencerminkan pandangan Israel terhadap misi kemanusiaan tersebut.
Peristiwa ini memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk organisasi hak asasi manusia dan kelompok advokasi internasional. Banyak yang menyerukan penyelidikan independen terhadap perlakuan terhadap para aktivis dan menuntut akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia. Tragedi ini kembali menyoroti konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina serta dampaknya terhadap warga sipil dan aktivis kemanusiaan.
Insiden ini menjadi pengingat akan pentingnya memberikan dukungan terhadap mereka yang berjuang untuk keadilan dan kemanusiaan, serta memastikan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak luput dari perhatian dan hukuman. Persitiwa ini diharapkan dapat mendorong masyarakat internasional untuk mengambil tindakan lebih lanjut dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina dan menghentikan penderitaan warga sipil.