Krisis Politik Israel: Koalisi Netanyahu Terancam Runtuh

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menghadapi krisis politik serius setelah partai ultra-Ortodoks, United Torah Judaism (UTJ), menarik dukungannya dari koalisi pemerintahan. Langkah ini, yang dilaporkan oleh Associated Press, mengancam stabilitas pemerintahan dan berpotensi menghambat upaya gencatan senjata di Gaza.
Ketidaksepakatan atas rancangan undang-undang yang akan menghapus pengecualian wajib militer bagi siswa sekolah agama menjadi pemicu utama keluarnya UTJ. Wajib militer merupakan kewajiban bagi hampir semua warga Yahudi Israel. Dengan hilangnya dukungan UTJ, koalisi Netanyahu kini hanya menguasai 61 dari 120 kursi di Knesset, membuat posisi Netanyahu semakin rapuh dan bergantung pada partai-partai sayap kanan yang cenderung anti-kompromi, terutama terkait perdamaian dengan Hamas.
Analis politik menilai situasi ini sebagai ancaman serius bagi pemerintahan Netanyahu. Jika partai ultra-Ortodoks lainnya juga menarik dukungan, Netanyahu bisa menghadapi pemerintahan minoritas yang lumpuh. Meskipun secara prosedural pemilu dini baru bisa diajukan akhir tahun, tekanan publik yang meningkat bisa memaksanya untuk mempercepat pemilu dari jadwal semula Oktober 2026.
Krisis ini terjadi di tengah negosiasi gencatan senjata dengan Hamas yang alot. AS, di bawah pemerintahan Trump, mendesak Israel mengakhiri konflik yang telah berlangsung lebih dari satu setengah tahun. Namun, sekutu Netanyahu yang garis keras justru menuntut perang dilanjutkan hingga Hamas hancur. Beberapa analis berpendapat Netanyahu mungkin akan memanfaatkan masa gencatan senjata sementara (jika ada) untuk memperbaiki citra dan mencari dukungan politik, termasuk melalui kesepakatan normalisasi dengan negara-negara Arab.
Netanyahu kini menghadapi tekanan dari berbagai pihak: kasus hukum, ketegangan militer, dan krisis koalisi. Kemampuannya untuk menjaga keseimbangan di tengah tekanan internal dan internasional akan menentukan apakah Israel akan menuju pemilu dini.