Jali-Jali Jakarta dan Tantangan Masyarakat Multikultur


RAKYATMEDIAPERS.CO.ID
- Tajuk kuratorial Jali-Jali Jakarta, sebenarnya berangkat dari semangat awal untuk mendekatkan keberadaan etnis Betawi sebagai sebuah simbol dari prototipe masyarakat yang dianggap mewakili masyarakat asli Jakarta (indigenous people). Etnik ini, dianggap merepresentasikan masyarakat yang masih inklusif, yakni masyarakat egaliter dan terbuka terhadap nilai-nilai budaya dari luar dirinya.

Betawi, sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni di era Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi.

Sangatlah tepat, jika etnik Betawi, bahkan sampai saat ini, adalah sebuah cermin besar ciri masyarakat majemuk. Disamping etnik-suku ini masih muda usia terbentuknya, namun yang terpenting: sistem nilai-nilai budayanya berakar secara multikultur (lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti suku Sunda, suku Jawa, Keturunan Arab, Etnis Tiong Hoa Cina, Suku Bali, Sumbawa, Suku Ambon, dan juga Suku Melayu). Sedangkan Jali-Jali adalah jenis sebuah lagu yang sering dilekatkan pada musik Gambang Kromong, yakni musik tradisi budaya Betawi.

Dengan demikian, Jali-Jali Jakarta, bisa dikatakan sebuah lambang “kelenturan” sebuah etnik dan budaya asli Jakarta yang menerima secara mutlak terbentuknya kota dengan masyarakat multikultur. Sebuah syarat berdirinya kota Metropolitan, salah satunya cirinya adalah: penduduk aslinya siap secara dinamis menerima pluralitas nilai-nilai.

Kota Jakarta saat ini, dalam prespektif lain, sejatinya memiliki resiko dan sangat rentan dengan beragamnya etnis dan keberadaan masyarakat multikulturnya. Tantangan terberat dari Jakarta adalah kebudayaan kosmopolitan yang merupakan bentuk eksagerasi (exaggeration) maupun segregasi kebudayaan, yang disatu pihak adalah menghargai keberagaman etnik dan ras, namun dilain pihak membiarkan kebudayaan minoritas hidup dalam suasana kosmopolit tersebut. Persoalan politik, sosial dan kultural yang tidak mudah diatasi pastilah muncul.

Kelindan dan pergesekan berbagai persoalan, mencipta konflik-konflik sosial yang menimbulkan dampak serius. Kita bisa menyebut, salah satunya, di awal abad 21 ini, isu-isu politis dengan picu masalah “ketidakadilan“ dan “dominasi“ serta “perebutan sumber daya“ memuncak pada kerusuhan Mei 1998, yang menewaskan ribuan orang. Tragedi ini menimbulkan trauma yang tidak tersembuhkan bagi etnik tertentu. Jakarta sebagai representasi dari Indonesia “mini“, sudah selayaknya menghadapi berbagai tantangan untuk menerapkan pluralisme dan multikulturalisme.

Kemudian, bagaimanakah peran seni didalam masyarakat multikultur? Seni pada galibnya, adalah sebuah produk atau artifak dari hasil aktifitasi gagasan dan sistem nilai yang hidup di masyarakat di dalam sebuah “jejaring” kebudayaan tertentu. Tentunya produk tersebut sangat unik, karena tak hanya merefleksikan spesifikasi khusus sebuah kebudayaan dengan elemen tanda-tanda, nilai dan kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya, namun juga menyerap (transformasi) berbagai dominasi kebudayaan-kebudayaan besar dan keniscayaan persentuhannya dengan sistem-sistem pengetahuan universal di era globalisasi ini.

Walter Benyamin menyebutnya, seni terlahir dari fitrahnya ditengah kemajuan industri dan kebudayaan massal tetaplah memiliki karakternya yang khas, sebagai dikatakan: seni otonom yang memihak. Yakni, sikap otonom seni yang tidak meninggalkan aura “esoterik”nya secara intrinsik, yang dalam pandangan ini adalah rasionalitas untuk mempertahankan keautentikan dan pengalaman estetis secara personal kreatornya (senimannya). Namun, memberi “pencerahan” dengan paras karakter “eksoterik” nya ke masyarakat sebagai konsumen kesenian. Singkatnya, produk seni dianggap memiliki pengaruh untuk memberikan reflektor di masyarakat, sebagai duta untuk memberi kejernihan atas sebuah peristiwa atau sebagai agen perubahan sosial.

Keragaman Tafsir tentang Mayarakat Multikultur Jakarta

Pameran seni rupa yang bertajuk Jali-Jali Jakarta hendak memberi ruang sebelas perupa, dengan keragaman ekspresinya menafsirkan keberadaan masyarakat multikultur, tak hanya sebatas pada merayakan simbol karakter inklusif dari etnik masyarakat Betawi (seperti yang disebutkan awal), namun yang kedua adalah: sebuah usaha untuk membaca dan merespon berbagai bentuk tantangan kebudayaan global yang “mendominasi”, berbagai resistensi budaya asal dan problem pluralitas nilai-nilai lain yang menyetubuh di Jakarta.

Dengan idiom anak kecil, seniman cetak digital Rotua Magdalena Pardede menyitir dalam karyanya, dengan judul Melihat dengan Murni, sebagai “Ketika kita kecil, kita melihat segala sesuatu sama, tidak ada perbedaan. Namun, pada saat dewasa pandangan berubah, daya pikir kita mengkotak-kotakan segala sesuatu. Melihat dengan mata anak kecil, membuat batasan menjadi tanpa batas”.

Sementara, perupa Evi Muheriyawan, memakai simbol anak kecil pula, kali ini dengan prespektif lain, menggambarkan budaya urban, membuat si kecil menjadi “terdesak dan tak punya pilihan”. Dengan judul All About Chicken, dengan kecakapan tekhnis melukis realis, Evi menyindir, betapa makanan cepat saji diperolokkan dengan “ayam” dari celengan miliknya. Ada semacam parodi disana, bahwa kita menghadapi kebudayaan global, sebuah keniscayaan terjadi.

Perupa Adikara, dengan mencoba membangun dialog kedalam diri, ia bercerita tentang tentang tubuh kita, sejatinya adalah sebuah ranah bahasa. Terjadinya konflik antar kita, karena ada bahasa saling tidak memahami. Alat komunikasi manusia tertua, adalah dengan memakai bahasa tubuh, maka karya Aku, Sang Tubuh dan Tarian, hendak menuturkan betapa kita seharusnya selalu waspada untuk menjaga komunikasi yang seimbang didalam masyarakat multikultural.

Nampaknya, perupa Oky Arfie juga sedang menyelam dalam persoalan sejenis: makna personal versus komunal, dengan memilih dirinya sendiri, dengan judul Try To be an Artist, Cheap One, dalam dua panel besar kanvas, mempertanyakan sikap seniman, dalam hal ini seorang pelukis melihat kondisi lingkungannya, dan kegamangan hati yang digambarkan dalam dua tubuh manusia, satu menekur melihat kantong kosong dimuka, dan satunya adalah sepotong lukisan yang berteriak menyuarakan kegusaran “dimana kemurahan hati?” ujarnya.

Perupa Hari Budiono, melihat ruang urban dan dominasi kebudayaan kapitalis-global telah “mendesak” orang-orang kecil, seperti pegawai negeri sipil, semacam Paidi yang dilukiskan menjadi nekad dan berkomitmen untuk bertindak kriminal. Jelas sekali, si Perupa hendak mengkritik kebudayaan yang “dominan” dan membela mereka yang menjadi korbannya.

Sedangkan, kompetisi, kepercayaan diri berlebihan, keunikan budaya asal, seringkali memuncak pada konflik terbuka, karena motif-motif pembagian kekuasaan yang timpang. Ponkq Harry Purnomo, mengeksekusi lukisannya, dengan gaya pop, mengilustrasikan figur kecil orang-orang yang berebut naik tangga dari berbagai golongan religi tertentu, ras, partai politik, atau etnisitas (dari corak warnanya) menuju apa yang disimbolkan sebagai kursi totalitas dan kemenangan diri, dalam Running for The Dream. Karyanya yang lain, ia mengolok-olok dengan idiom sebuah mesin waktu/ jam besar, yang jarumnya terbuat dari sendok dan garpu sebagai amsal tujuan akhir manusia, maka konflik sangat rentan terjadi, karena semua dipertaruhkan disana.

Apa yang dirasakan Ponkq, nampak sesuai dengan yang digambarkan wujud dari lukisan Ondel-Ondelan karya Alex Luthfie pula. Karena, keserakahan dan motif-motif perebutan kekuasaaan serta politik, membuat orang-orang di Jakarta bagai babi-babi dengan simbol-simbol kenegaraan yang tersemat di dadanya. Mereka, mungkin saja wakil rakyat yang duduk di singgasana kekuasaan dari berbagi elemen partai politik.

Hal yang selaras muncul juga di karya milik Syis Paindow, dengan judul Menutup Aib. Dengan ilustrasi batu-batu yang ditatah seperti dinding candi, yang keras dan gelap, disana ada perempuan bertelanjang dada, yang ditutup payudaranya oleh tangan lelaki yang memakai cincin berlambang RI. Di dinding candi, ada figur tangan memegang miniatur gedung DPR/MPR. Gambar ini seolah berujar lirih: semua ini, hanya karena perebutan kekuasaan dan politik semata.

Sementara itu, perupa seperti Jono Sugiantoro, memilih untuk merenung menyikapi perbedaan, dengan karya-karya yang puitik. Two sides, menceritakan sebuah palang pintu larangan, ada dua sisi diantara kita, yang seharusnya dijaga dengan hati terbuka, Jangan sampai kita menyakiti dengan membuka kemungkinan-kemungkinan dalam prespektif yang berbeda dalam pergaulan dan komunikasi anatar golongan di masyarakat. Digambarnya bidang kanvas besar, dengan transparan sebuah daun luruh, yang melambangkan manusia, terserak dibawah pintu portal.

Demikian pula, pematung Yana WS, menilik simbol universal secara puitik, melihat konflik sosial dan berbagai persoalan dimasyarakat dengan berkontemplasi. Patung kayu miliknya, berjudul: kecambah. Seolah, hendak berujar, kita sesungguhnya belajar untuk menumbuhkan sesuatu dari dalam diri dengan tulus dan demi kebaikan semata. Bukankah, jika kelak besar, kecambah ini akan bertumbuh sebuah pohon besar yang bernama: ikatan-ikatan moral akan satu tujuan yang mulia, meski kita berbeda dan beragam.

Karya lain, dari seniman Sudigdo, memilih idiom sederhana dan mudah dipahami dengan memelesetkan gaya poster iklan pakaian impor yang populer tahun 90an dulu, dengan jenaka diberi judul: United Color Of Jakarta. Sudigdo, piawai untuk menceritakan betapa ragam kebudayaan, nilai-nilai, etnisitas dan religi tak akan menggoyahkan mekanisme sebuah kota modern seperti Jakarta. Figur-figur perempuan dengan busana warna-warni, dan corak berbeda adalah fitrah bersama, sebuah takdir! Bukankah, keberagaman adalah sebuah kesadaran mutlak, ketika kita siap melebur dalam budaya yang sama tinggi dan sama bernilai di dalam masyarakat yang egaliter dan dewasa seperti Jakarta?

HALAMAN SELANJUTNYA:


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel