Evaluasi SK KHDPK: Ancaman Kerusakan Hutan dan Konflik Petani
SK 287/MENLHK/SETJEN/PLA.0/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) tengah menjadi sorotan. Komisi IV DPR RI akan mengevaluasi kebijakan ini menyusul munculnya berbagai permasalahan di lapangan, khususnya konflik antar petani dan potensi kerusakan hutan.
Anggota Komisi IV DPR RI, Dr. H. Dadang M. Naser, menyatakan rencana evaluasi tersebut setelah melakukan kunjungan reses ke Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) di Kabupaten Bandung. Kunjungan ini bertujuan untuk mendengarkan langsung keluhan dari petani dan masyarakat yang terdampak kebijakan KHDPK.
Konflik Antar Petani dan Ancaman Kerusakan Hutan
Salah satu permasalahan krusial yang diungkap adalah konflik horisontal antar petani. Petani yang sebelumnya menggarap hutan melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) kini bersinggungan dengan petani baru pemegang SK KHDPK.
Kasus di Desa Tenjolaya, Kabupaten Bandung, menjadi contoh nyata. Seorang petani mitra Perhutani sejak 2004 dilaporkan ke polisi karena dituduh mencuri kopi yang ia tanam sendiri. Hal ini menunjukkan betapa rumit dan peliknya konflik yang ditimbulkan oleh SK KHDPK.
Dampak SK KHDPK terhadap Kelestarian Hutan
Ketua FPHJ, Drs. H. Eka Santosa, mengungkapkan keprihatinannya atas dampak SK KHDPK terhadap kelestarian hutan. Dari 2,4 juta hektar hutan di Pulau Jawa yang dikelola Perhutani, sekitar 1,1 juta hektar telah dialihstatuskan menjadi KHDPK.
Peninjauan FPHJ menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak hanya memicu konflik, tetapi juga berpotensi merusak hutan. Banyak penerima SK KHDPK dinilai tidak memiliki pengalaman dan komitmen dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, bahkan diduga ada keterlibatan investor.
Ketidakjelasan dan Kurangnya Pengawasan
Eka Santosa juga menyoroti ketidakjelasan dan minimnya pengawasan dalam implementasi KHDPK. Berbeda dengan PHBM yang diawasi ketat oleh polisi hutan, KHDPK terkesan dibiarkan tanpa pengawasan yang memadai.
Lebih memprihatinkan lagi, Perhutani dan petani desa hutan seringkali tidak diinformasikan tentang pengalihfungsian lahan garapan mereka menjadi KHDPK. Hal ini menyebabkan ketidakpastian dan kerugian bagi mereka yang selama ini mengelola hutan secara berkelanjutan.
Desakan Pencabutan SK KHDPK dan Implementasi Agroforestri
FPHJ mendesak DPR RI untuk mendesak Kementerian Kehutanan mencabut SK KHDPK jika implementasinya tidak memperbaiki kondisi. Mereka khawatir akan terjadi kerusakan hutan dan konflik horisontal yang lebih luas.
Dadang M. Naser menyatakan keprihatinannya dan akan mengevaluasi SK KHDPK di Komisi IV DPR RI. Ia menekankan pentingnya penerapan konsep agroforestri dalam pengelolaan hutan dan meminta agar petani yang menjadi korban konflik dilindungi.
Langkah ke Depan: Kebun Percontohan Agroforestri
Sebagai solusi, Dadang M. Naser berencana untuk membangun kebun percontohan agroforestri di Kabupaten Bandung bersama FPHJ. Langkah ini diharapkan dapat menjadi model pengelolaan hutan berkelanjutan yang mampu mencegah konflik dan kerusakan lingkungan.
Ke depannya, evaluasi menyeluruh terhadap SK KHDPK sangat penting untuk memastikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, adil, dan melindungi hak-hak petani. Harapannya, kebijakan ini dapat direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan.